ARQUIDIOCESISDGO — Jakarta – Terapi stem cell kini memasuki babak baru di Indonesia setelah BPOM menerbitkan regulasi terbaru pada 2025. Dalam aturan tersebut, produk berbasis stem cell dan metabolitnya dikategorikan sebagai Advanced Therapy Medicinal Products (ATMP).
Dengan regulasi baru ini, klinik maupun rumah sakit diwajibkan menggunakan stem cell yang diproduksi sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan memiliki izin Good Manufacturing Practice (GMP). BPOM menegaskan akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar.
Sebagai langkah awal, penelitian berbasis layanan dilakukan di 16 rumah sakit pengampu, termasuk 13 rumah sakit pemerintah, RSPAD, serta dua rumah sakit swasta, yaitu RS Atma Jaya dan RS Royal Prima Medan. Uji klinis akan menjadi jembatan menuju izin edar.
“BPOM ingin memastikan terapi ini aman dan sesuai standar sebelum dipasarkan luas, karena itu penelitian klinis menjadi tahapan penting,” kata Presiden Direktur Kalbe Regenic Stem Cell, dr. Sandy Qlintang, M.Biomed dalam acara Stem Cell dan Terapi Regeneratif: Harapan Baru Untuk Kedokteran Regeneratif di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada Senin, 25 Agustus 2025.
Fokus pada Bidang Ortopedi dan Traumatologi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5326907/original/054614700_1756114705-20250825_081735.jpg)
Regulasi baru BPOM memprioritaskan penelitian stem cell pada bidang ortopedi dan traumatologi.
Setidaknya ada 15 indikasi penyakit yang bisa ditangani, seperti osteoartritis, cedera tulang belakang (spinal cord injury), patah tulang (fraktur), osteoporosis, hingga cedera tendon.
Bahkan terapi ini mulai merambah ke bidang kedokteran olahraga (sport medicine) mengingat tingginya angka cedera akibat tren olahraga seperti lari dan paddle.
Salah satu perusahaan farmasi besar, Kalbe, tengah mengurus izin uji klinis fase 1 untuk terapi metabolis secretum pada kasus osteoartritis. Diharapkan, pada 2026 terapi ini bisa mendapatkan izin edar bersyarat.
“Kami menargetkan terapi ini bisa masuk conditional approval di tahun 2026,” kata Sandy.
Tantangan Biaya Tinggi dan Efektivitas
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5326908/original/055157200_1756114706-20250825_095902.jpg)
Meski menjanjikan, tantangan terbesar dalam terapi stem cell adalah biayanya yang sangat tinggi.
“Satu sel saja bisa bernilai dua hingga tiga rupiah, sementara terapi membutuhkan sekitar 100 juta sel,” kata Direktur Pengembangan dan Riset RSPAD Gatot Soebroto, Dr. dr. Jonny, Sp.PD-KGH., M.Kes., M.M., DCN., DABRM.
Artinya, biaya pengobatan bisa mencapai 200–300 juta rupiah. Hal ini membuat terapi sel punca masih masuk kategori pengobatan alternatif, khususnya bagi pasien yang sudah tidak merespons kemoterapi, operasi, atau radioterapi.
Namun, harga yang mahal belum menjamin efektivitas. Terapi ini dinilai lebih optimal jika diberikan pada pasien dengan stadium awal, sementara pada stadium lanjut hasilnya kurang maksimal.
“Kalau masih stadium awal hasilnya bagus, tapi kalau stadium lanjut kami tidak menyarankan,” tambah Jonny.
Implementasi dan Harapan ke Depan
Di Indonesia, penelitian berbasis layanan menjadi pintu masuk utama sebelum terapi stem cell mendapat izin edar.
Sebanyak 16 rumah sakit pengampu menjadi pusat penelitian klinis, termasuk Atma Jaya dan RS Royal Prima Medan yang mewakili rumah sakit swasta.
Jika hasil penelitian menunjukkan efektivitas, BPOM akan menindaklanjuti dengan proses izin edar resmi.
Meski demikian, implementasi terapi ini masih menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi regulasi, fasilitas, maupun edukasi masyarakat.
Stem cell juga baru difokuskan pada bidang ortopedi dan dermatologi, sementara pemanfaatannya untuk penyakit kronis lain, termasuk kanker dan ginjal, masih dalam tahap penelitian awal.
“Indonesia perlu konsisten mendorong riset dan memperkuat regulasi agar terapi ini benar-benar bisa diakses lebih luas dan bermanfaat bagi pasien,” kata Sandy.