ARQUIDIOCESISDGO — Jakarta – Di tengah derasnya arus modernisasi dan menjamurnya camilan kekinian yang kerap tampil menggoda dengan warna-warni mencolok dan kemasan yang menarik. Ada satu jenis camilan tradisional yang tetap setia dengan kesederhanaannya, namun mampu menghadirkan rasa nostalgia dan kehangatan masa lalu dalam setiap gigitannya.
Itulah Nagasari, kue basah khas Jawa Barat yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti tepung beras, santan, gula, dan pisang sebagai isian utamanya. Sekilas tampak sederhana, namun jangan remehkan kekuatan rasa dan filosofi di balik kudapan mungil yang satu ini.
Nagasari bukan hanya sekadar camilan, melainkan warisan budaya kuliner yang melekat erat dengan tradisi masyarakat Sunda, Nagasari disajikan dalam berbagai momen istimewa, mulai dari arisan keluarga, syukuran, hingga kenduri dan upacara adat.
Di balik balutan daun pisang yang harum ketika dikukus, tersimpan rasa manis yang halus berpadu dengan tekstur lembut dari adonan tepung dan pisang matang yang manis alami menciptakan harmoni rasa yang tak tergantikan oleh inovasi jajanan modern sekalipun.
Uniknya, Nagasari bukan hanya pada bahan-bahannya yang sederhana, tetapi juga pada cara pembuatannya yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran.
Tepung beras dicampur dengan santan kental dan gula, lalu dimasak hingga mengental menjadi adonan lembut. Adonan ini kemudian dibalurkan ke selembar daun pisang, diberi potongan pisang raja atau pisang kepok di tengahnya, lalu dibungkus rapi dan dikukus hingga matang sempurna.
Proses pengukusan ini bukan sekadar teknik memasak, melainkan bagian dari tradisi yang diwariskan turun-temurun, yang menghasilkan aroma khas dari daun pisang yang berpadu dengan legitnya adonan.
Sentuhan tangan para ibu dan nenek yang dengan penuh cinta membungkus setiap potong Nagasari membuat camilan ini tidak hanya lezat di lidah, tetapi juga hangat di hati.
Pasar Tradisional
Tidak heran jika banyak orang yang menyebut Nagasari sebagai simbol kasih sayang keluarga, makanan yang lebih dari sekadar pengganjal lapar, melainkan juga penyambung ikatan batin antar generasi.
Meskipun Nagasari dapat ditemukan di banyak pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia, namun Nagasari dari Jawa Barat memiliki keunikan tersendiri. Di wilayah Sunda, penggunaan santan kental cenderung lebih dominan, memberikan rasa gurih yang kuat dan tekstur yang sangat lembut.
Pisang yang digunakan pun dipilih dengan cermat harus matang sempurna namun tidak lembek, agar ketika dikukus tetap utuh dan tidak hancur. Di beberapa daerah di Jawa Barat, Nagasari juga sering dibuat dalam versi mini yang lebih mungil, menyesuaikan dengan tradisi penyajian dalam acara hajatan atau sebagai suguhan tamu.
Bahkan ada juga variasi yang menggunakan tepung sagu sebagai campuran, menciptakan sensasi kenyal yang unik namun tetap mempertahankan identitas aslinya. Tradisi makan Nagasari pun sering kali dibarengi dengan menyeruput teh hangat atau kopi tubruk, menciptakan momen santai yang penuh kekeluargaan dan keakraban.
Namun, di tengah tantangan zaman yang semakin cepat dan praktis, keberadaan Nagasari sempat terpinggirkan. Generasi muda yang lebih mengenal donat, mille crepe, atau kue-kue viral dari luar negeri, mulai melupakan cita rasa lokal yang penuh nilai sejarah ini.
Untungnya, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kembali gerakan untuk mengangkat kembali camilan tradisional sebagai bagian dari identitas budaya. Para pelaku UMKM, food blogger, dan pecinta kuliner nusantara mulai mengenalkan kembali Nagasari melalui berbagai platform digital, baik dalam bentuk resep klasik maupun inovasi rasa seperti Nagasari cokelat, Nagasari keju, bahkan Nagasari pandan.
Meskipun mengalami modifikasi, esensi dari camilan ini tetap dipertahankan kehangatan yang datang dari kelembutan adonan dan manisnya pisang yang dibalut cinta dalam daun pisang yang harum.
Melalui adaptasi ini, Nagasari berhasil membuktikan dirinya sebagai makanan yang tidak hanya hidup dalam ingatan masa lalu, tapi juga mampu menyesuaikan diri dalam selera masa kini tanpa kehilangan jati diri.